Seni Pertunjukan dan Seni Mempertunjukan.

Akhir Maret (27/03/2022), Pada malam yang basah di Timur Jakarta, Fidelis Krus Yosua (Fidel) seorang artis performa mengarahkan saya untuk menemuinya pada sebuah warung kopi–sebuah roaster yang menyajikan kopi bagi para peminum madya; bukan pemula. Hanya dua menit dari rumah saya, menembus gerimis dan jalan yang mulai berkaca, akhirnya roastery house itu benar ada, parkir motor, duduk dan bersantai dan pembicaraan kami akhirnya bermula.

Fidel memperkenalkan saya dengan beberapa pemuda yang sedang asik bergawai sahaja, salah satunya adalah Didit, pemilik dan Roast Master di tempat ini menyabutku hangat, menghilangkan gigil dalam gerimis panjang di awal tahun 2022 ini. Baik Didit dan sekitaran pemuda yang lain pernah berkecimpung dalam sebuah Grup Teater bernama Artery; grup garda depan yang mulai kehilangan kemampuannya untuk melahirkan pertunjukan yang layak, setidaknya sejak pertunjukan Struktur Rumah Tangga Kami di tahun 2013.

Pada pertunjukan Struktur Rumah Tangga Kami ternyata Didit berkecimpung sebagai video editor; kami semua seusia oleh karena itu pemahaman estetika video dan trend media hampir memiliki kesamaan referensi, ada banyak hal yang menyambungkan pembicaraan kami mengenai pertunjukan silam tersebut, yang membuat kopi yang kami isap pelan ini menambah hangat gigil malam basah di Timur Jakarta.

Tidak ada pertunjukan yang layak semasa Pandemi, instansi pemerintah yang gemar masturbasi lalai dalam melihat kekuatan-kekuatan tersembunyi seniman Indonesia, yang sembarang memberikan pendanaan pada pertunjukan dan karya-karya isapan jempol, membuat seniman-seniman jenius makin miskin dalam berpikir, dan seniman oportunis bisa menambah pundi lewat omong kosong proposal-proposal tidak berbobot.

Fidel mengisahkan bagaimana kerja kebudayaan dan arsip yang ia lakukan bersama Akbar Yumi mendapatkan seonggok dana dari pemerintah sebesar 300 juta dan habis hanya untuk hal-hal teknis, sedangkan ada salah satu seniman yang pernah melakukan pelecehan seksual makmur disiram dana sebesar 1 milliar dan tidak menghasilkan apa-apa; pundi jadi birahi seniman gagal.

Di dalam gang di Ledeng Bandung, Iman Soleh lewat CCL bersama anaknya Mahesa Elgasani membangun peradaban dan pendayagunaan kesenian di masyarakat; selama Pandemi CCL dan warga Ledeng serta donatur-donatur berperang melawan kemiskinan yang menggerogoti masyarakat sekitar, kesulitan makan, alkes, dan berbagai hal yang menjadi kritis di masa pandemi berhasil di halau warga Ledeng berkat komunikasi dan pemberdayaan Masyarakat lewat kesenian di CCL.

Sementara Karensa Dewantoro bergerak memberdayakan pemgetahuan dan pedagogi lingkungannya untuk memberikan pembelajaran bagi warga kampung padat di Jagakarsa untuk berkebun dan berbenah lingkungan, seraya merintis Drama Club untuk anak-anak tentu saja dengan kurikulum yang tepat guna. Kerja Fidel dan Akbar Yumi membangun Miss Tjitjih ke dalam wacana yang lebih dalam hanya dihargai 300juta, seniman bekerja keras dalam corong ketidak acuhan pemerintah dan ketidakmampuan mereka dalam mengurasi.

Seni Pertunjukan.
Gedung-gedung seni dibatasi penggunaannya, Taman Ismai Marzuki yang masih dalam tahap pembangunan tidak lagi menjadi gerbong panjang untuk membawa kebudayaan, sisa-sisa kaum urakan dengan gaya hidup bohemian mulai kehilangan rumah; TIM kembali menjadi bermartabat, tidak menjadi trotoar teduh untuk dihuni orang yang seolah menjadi seniman.

Revitalisasi TIM memang sejatinya tidak memerlukan ‘seniman’ sebagai rekan kerja, ia membutuhkan arsitek yang memahami fungsi humanis dari kompleks kesenian, dan paham mengenai perkembangan kesenian yang bisa terjadi dibawah bentuk dan fungsi sebuah media arsitektur, dan dari Cikini Raya, kita bisa pelan-pelan lihat bagaimana sebuah facade mulai mempertunjukan gerakan pembawa wacana, bukan sebuah arcade yang menerjemahkan dirinya sendiri menjadi pasar malam tanpa aturan.

Seni pertunjukan melihat itu semua sebagai wacana, bagaimana selama puluhan tahun TIM dipenuhi oleh gerakan-gerakan plastis yang bisa menyesuaikan diri dengan konteks wacana, kemudian dihuni bagi pencari suaka kebudayaan yang kehilangan rumahnya akibat ketidaksadaran finansial, atau hanya dimabuk cerita dan imajinasi mengenai indahnya menjadi seniman di era 60-70an; Taman Ismail Marzuki melihat itu dan melahirkan banyak gerakan kesenian, baik yang canon ataupun yang picis.

Dalam isap riap wangi kopi di Pinang Ranti malam itu Didit kembali menyeritakan bagaimana dirinya sebagai insan video merasa jengah dengan wahana-wahana kesenian yang mengasingkan masyarakat dalam representasinya, komunitas-komunitas kesenian menjadi anjing penjaga yang siap menyalak menyambut para tamu yang penasaran, yang kemudian mengubah inklusifitas menjadi wahana ekslusif yang bahkan tidak bisa dinilai keberpengaruhannya.

Sementara lewat cerita Karensa dalam melihat seni pertunjukan, pengakuan dan testimoni tokoh harus dihapuskan, kritik harus bermuara pada dasar berpikir yang jelas, pengkultusan tokoh sebagai pembawa wacana sudah harus dihilangkan sebagaimana seni pertunjukan Indonesia dibangun lewat warna dan saturasi saat ini, bukan budaya feodalis yang tumbuh marak semenjak pra-kemerdekaan.

Kesetaraan pendapat hanya bisa dilihat dari unsur pembangunan argumen, bagaimana sebuah wacana kesenian tidak serta merta menjadi canon bila diisi dengan pengakuan tokoh-tokoh tanpa hadir di dalam proses penciptaannya, proses inilah yang tidak melahirkan progress pada pengembangan wacana berpikir di seni pertunjukan, seni yang harusnya menampilkan pencapaian proses menjadi rangkaian acara feodal yang melahirkan kultus baru dalam melihat pencapaian estetika.

Seni pertunjukan sudah menjelma menjadi seni mempertunjukan household name menjadi sebuah standar pencapaian estetika, proses kritik dan kurasi yang tidak bisa dijalankan, mandeknya bentuk berpikir dari pemangku kebijakan kesenian, seolah menjadi pengawet yang mengutuhkan mayat seni pertunjukan di Indonesia.

Suara-suara sumbang dari luar Jakarta seolah membawa angin avant gardis yang menyegarkan, akan tetapi rajutan mimpi yang terangkai pada ulasan-ulasan kosong pasca pertunjukan menjadi isapan jempol yang sama yang tumbuh bersama dalam diskusi pragmatis lainnya.

Taufik Darwis mencoba melesapkan kabut pragmatis tersebut lewat serangkaian kerja kolaboratifnya di Jawa Barat, sementara di belahan lain Jakarta Joind Banyuwinanda masih setia untuk membongkar pola eksplorasi kekuatan aktor dan wacana panggung, Echo Chotib yang telah gugur meninggalkan jejak yang indah pada keberanian akulturatif, Dendi Madiya masih kebingungan dengan bahasa tubuh bahasa yang menjadi senjatanya, sementara Yustiansah Lesmana seperti di ninabobokan kenyamanan; nama-nama itu adalah lingkaran yang harus diperhatikan diluar nama Yudi Ahmad Tajudin yang bersinar di tengah Jawa.

Seni pertunjukan akan selalu mati dan melahirkan dirinya kembali dari bangkai yang terbakar, seni mempertunjukan khas dekade-dekade lampau sudah muram di dalam pandangan. Venue-venue yang terbangun tidak bisa bersuara tanpa senimannya, dan dinas-dinas kepemerintahan yang selalu hapal menulis cashback di pesan singkat harusnya segera wafat, semoga tulisan ini menyadarkan kita semua bahwa seni pertunjukan tidak melulu harus dibingkai sebuah pengakuan.

Spacious modern lecture hall theater with lighting on dropped ceiling and seats

Tentang produktplazierung

postdramatic -- follow my IG @produktplazierung
Pos ini dipublikasikan di Kesenian dan tag , , , , , , , , , , , , , , . Tandai permalink.

Tinggalkan komentar