Sarwahita Selepas Isya
masih aspal yang sama
setelah sepuluh tahun lompatan kita
kau berakhir di tempat yang berbeda
dari apa yang terekam di sarwahita
lidah kita beradu kala itu
kecap dalam lindap
remang cahaya fotokopian
membias padu pada temaram lampu jalanan
dan kisak dedaunan dalam gelap
seraya titah tubuh merapat
apa kau rasakan hangat?
menjalar tiap nadi desir darah
panas kelaminmu ku kenal benar
binar bulan setengah
dalam riuh malam ramadhan
Aku sudah melupakan ramadhan di Jatinegara,
mengantar ahadea di persimpangan rel kereta
tidak terekam pula
tahun itu gawai adalah barang mewah
hanya mengantar kata, tak lebih
dari sini pula kita dengar suara ayu puspa nanda
membaca puisi
gaungnya memenuhi udara kampus, kau tidak pula peduli
tangan melata di balik baju.
apakah kita akan telanjang di dalam kegelapan taman sarwahita
sementara yang lain bersenda gurau di kejauhan
dan teater sastra muram menyimpan kenangan–kini jejak administrasi
Aku beringsut pada angin kala kau berangkat ke belanda kelak
dan aku mengarah lakon di volksbuhne
di aspal yang sama jejak kita bercampur yang lainnya
namun kenangan selasa melesap disana
satu belokan menuju gedungmu
dan diakhiri usap pada bulu goa garba itu
aku mengetuk pelan
Kamu antar aku ke utan kayu.
aku saksikan tubuhmu meliuk dalam jangkauan peluk
namun kubiarkan kau menguap tuai karunia
kartika dan lainnya tidak boleh tahu
mereka akan dibakar cemburu
sembunyi sembunyi, seperti mabuk stephanus.
taman sunyi ini memberatkan mimpi
di kala malam panas dan lembab
aku berakhir terkunci di kamar sempitmu.